Kamis, 01 Juli 2010

Penyiapan Program dan Kegiatan

Strategi Sanitasi Kota punya jangkauan gambaran jangka panjang. Tetapi dalam pelaksanaannya, rentang waktu yang digunakan adalah jangka pendek dan jangka menengah, yang mendukung pencapaian gambaran jangka panjang tersebut.

Pokja selanjutnya mengintegrasikan program dan kegiatan. Pada bagian ini, program dan kegiatan tersebut akan dirapikan, sehingga memudahkan SKPD (dan Pokja) untuk memahaminya.

‘Program’ bisa dipahami sebagai kumpulan beberapa ‘kegiatan’ yang mengarah kepada sebuah perubahan. Tidak hanya terbatas pada implementasi fisik, tetapi juga mencakup usaha menjaga keberlangsungan operasi infrastruktur yang ada. Bisa dari sisi keuangan (tersedianya biaya O&M yang memadai), dan/atau meningkatkan kesadaran dan kebutuhan masyarakat akan sanitasi yang baik.

Sebagai contoh, ‘program peningkatan layanan air limbah di zona sanitasi-X dengan sistem terpusat’ bisa terdiri dari beberapa kegiatan, seperti:

  • menyiapkan masyarakat agar terjadi peningkatan kebutuhan (demand) akan sistem air limbah yang baik;
  • menyiapkan studi kelayakan, termasuk mencari sumber dana;
  • menyiapkan perencanaan rinci (detailed engineering design);
  • pembentukan Badan Layanan Umum daerah untuk pengelolaan sistem jaringan dan pengolahan air limbah (diandaikan sebagai persyaratan untuk mendapatkan bantuan dana dari Pemerintah Pusat);
  • penyiapan aturan biaya sambungan rumah dan retribusi air limbah;
  • implementasi fisik; dan
  • kampanye untuk sambungan rumah.

Program yang sudah disusun kemudian dibuat perkiraan sumber dananya, baik yang berasal dari dana APBD Pemerintah Kota, dari Pemerintah Provinsi maupun dari Pemerintah Pusat, termasuk perkiraan dana dari masyarakat.


Sumber: Manual TTPS

Perumusan Strategi dan Pengembangan Strategi Subsektor Serta Aspek Pendukung Layanan Sanitasi

Setelah Pokja menetapkan sistem dan zona sanitasi untuk perencanaan jangka panjang. Pokja juga sudah menetapkan gambaran umum target pembangunan infrastruktur jangka menengah dan jangka pendek, termasuk pemilihan teknologinya. Pemilihan teknologi akan banyak ditentukan oleh berbagai aspek seperti kelembagaan, peraturan, pendanaan (Pemerintah, swasta, masyarakat), dan aspek partisipasi masyarakat. Termasuk aspek jender dan kemiskinan. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek ini pula, Pokja bisa menentukan tahapan untuk membangun infrastruktur yang telah disepakati untuk jangka panjang.

Sebagai contoh, karena biaya memasang perpipaan air limbah (sewerage) sangat mahal, maka dalam jangka pendek dan (mungkin) jangka menengah, Pokja bisa meminta/menganjurkan setiap rumah tangga untuk membangun tangki septik sesuai standar. Karena belum ada sewer, air buangan tangki septik boleh dialirkan ke saluran drainase, dengan sedikit mengorbankan kualitas air sungai. Selanjutnya secara bertahap, kota merencanakan pembangunan perpipaan. Fungsinya untuk mengalirkan air buangan tersebut dan mengolahnya di unit pengolahan air limbah yang juga harus dibangun.

Pada kegiatan sebelumnya, Pokja telah berhasil mengidentifikasi isu-isu strategis dan kemungkinan hambatan, serta berhasil merumuskan arah pengembangan sektor sanitasi kota. Dengan hasil ini, sebenarnya Pokja tinggal selangkah lagi bisa merumuskan strategi pembangunan sanitasi yang mencakup semua subsektor dan seluruh aspek. Strategi yang dirumuskan ini akan menjadi salah satu dasar identifikasi awal program dan kegiatan, yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya Manual ini.

Strategi sanitasi bisa dirumuskan dengan menganalisis (SWOT) isu-isu strategis dan kemungkinan hambatan tersebut, yakni dengan analisis S-O, S-T, W-O, dan W-T. Selanjutnya, Pokja dapat merangkum hasilnya menjadi strategi sanitasi kota yang mencakup semua subsektor (teknis) dan seluruh aspek (kelembagaan, keuangan, partisipasi masyarakat, komunikasi, peran swasta).

Perlu diingat, perumusan strategi dengan analisis SWOT tidak selalu menghasilkan strategi yang komprehensif dan terintegrasi. Cara efektif untuk memastikan agar strategi yang disusun seiring dengan sasaran sanitasi yang ditetapkan, maka Pokja perlu membaca satu per satu strategi yang dirumuskan dan menyandingkannya dengan sasaran sanitasi. Jika masih sesuai, maka strategi tersebut bisa ditetapkan. Jika sebuah rumusan strategi tidak seiring dengan sasaran sanitasi, maka Pokja bisa merumuskan ulang. Kadang-kadang, analisis SWOT ini tidak menghasilkan rumusan strategi, tetapi justru rumusan program atau bahkan kegiatan. Dalam hal demikian, Pokja harus memisahkannya dari rumusan strategi, tetapi tetap menyimpannya sebagai input untuk program/kegiatan.

Jika perumusan dengan analisis SWOT masih dipandang kurang, Pokja bisa menambahkan rumusan strategi lain dengan merujuk pada sasaran sanitasi.

Selanjutnya, setelah strategi selesai dirumuskan, Pokja bisa melangkah dengan melakukan identifikasi awal program dan kegiatan (subsektor dan aspek nonteknis) dengan tetap merujuk pada sasaran dan hasil rumusan (zona dan sistem serta tingkat layanan sanitasi).



Sumber: Manual TTPS

Perumusan Arah Pengembangan Sektor Sanitasi Kota

Proses perumusan Arah Pengembangan Sektor Sanitasi Kota sebenarnya dimulai sejak penyusunan visi dan misi sanitasi kota, penetapan tujuan dan sasaran yang memberikan kisi-kisi penetapan sistem sanitasi dan zona sanitasi, serta penetapan tingkat layanan. Selanjutnya, setelah Pokja berhasil merumuskan isu-isu strategis dan kemungkinan hambatan, mereka dapat merumuskan arah pengembangan sektor sanitasi di kota tersebut.

Proses ini dapat dilihat pada gambar berikut ini.


Sumber: Manual TTPS

Identifikasi Isu-isu Strategis dan Kemungkinan Hambatan

Setelah ditetapkannya sistem dan zona sanitasi jangka panjang, yang memberikan gambaran infrastruktur sanitasi dan aspek-aspek terkait pada kurun waktu 15–25 tahun mendatang. Pada bagian itu, Pokja juga sudah menetapkan layanan sanitasi untuk jangka menengah dan pendek. Selanjutnya bagaimana Pokja mendeskripsikan layanan tersebut diberikan kepada masyarakat.

Gambaran yang diharapkan dalam 15–25 tahun mendatang jelas berbeda dengan kondisi aktual saat ini. Dalam usaha mengatasi kesenjangan tersebut, Pokja perlu mengidentifikasi isu-isu strategis dan kemungkinan hambatan yang akan dihadapi kota. Identifikasi ini akan menjadi dasar bagi perumusan strategi yang akan ditempuh, tindakan yang akan dilakukan, termasuk penyusunan program dan kegiatan jangka menengah.

Ada berbagai teknik yang biasa dipakai untuk mengidentifikasi isu-isu strategis dan hambatan. Salah satunya adalah melalui analisis SWOT, sebuah teknik analisis yang sudah lazim dipraktikkan. Analisis SWOT terkait identifikasi isu-isu strategis dan hambatan bisa mengambil banyak teknik/jalan. Tetapi dari beberapa praktik di kota-kota, kita bisa mencatat satu pendekatan yang bisa dianggap best practice, yang bisa dipelajari pada penjelasan langkah-langkah di bagian ini.

Berikut adalah beberapa contoh isu-isu strategis:

  • Pembangunan sistem sewerage dan IPAL. Dalam sebuah zona air limbah yang direncanakan akan dibangun sistem sewerage, diidentifikasi kemungkinan adanya hambatan ketersediaan lahan untuk pemasangan pipa air limbah. Misalnya, jarak antar rumah yang terlampau dekat menyebabkan tidak mungkin membuat galian (secara konvensional) untuk penanaman pipa air limbah tersebut. Berdasarkan identifikasi kemungkinan hambatan itu, maka perlu dicari cara lain guna mengatasi masalah sanitasi di daerah tersebut (misalnya: membuat subsistem tersendiri untuk kawasan tersebut, atau mencari opsi teknologi yang sesuai untuk kawasan itu.
  • Pelayanan sampah. Salah satu komponen dalam pelayanan sampah yang baik dari sisi kesehatan dan lingkungan adalah tersedianya Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang memadai. Bila dalam kurun waktu 15–25 tahun ke depan, TPA yang ada saat ini tidak dapat digunakan lagi karena kapasitas yang ada sekarang sudah terbatas, maka isu kebutuhan TPA perlu diangkat. Lalu, tindakan antisipasinya perlu dipastikan menjadi bagian dari program dan kegiatan jangka menengah.
  • Dan lainnya.

Proses ini dapat dilihat pada gambar berikut ini (klik gambar untuk memperbesar).


Sumber: Manual TTPS

Penetapan Tingkat Layanan Sanitasi

‘Tingkat layanan’ bisa dipandang sebagai parameter untuk mengukur kinerja sebuah sistem atau layanan. Dalam sanitasi hal ini biasa dinyatakan dalam bentuk persentase dari sebuah capaian.

Layanan sanitasi bisa sangat bervariasi, misalnya tingkat layanan untuk toilet dalam rumah yang terhubungkan dengan jaringan perpipaan air limbah, cubluk, atau tangki septik. Tingkat layanan sanitasi ditentukan oleh biaya layanan, kondisi ekonomi, dan kemauan pengguna infrastruktur untuk membayar layanan. Ketersediaan air bersih untuk penggelontor dan pembersih serta sebagai sarana untuk peningkatan higiene perseorangan, ikut menentukan tingkat layanan yang diberikan. Faktor lain yang ikut memengaruhi tingkat layanan adalah kenyamanan dan status yang didapatkan penerima manfaat, dan persepsi atas dampak kesehatan yang ditimbulkan. Agar berkesinambungan, tingkat layanan minimum perlu memerhatikan faktor-faktor tersebut di atas2 .

Tingkat layanan sanitasi perlu ditetapkan untuk jangka panjang (15–25 tahun), dan kemudian pencapaiannya dibuat bertahap dalam jangka menengah dan jangka pendek. Yang terpenting adalah bahwa parameter tingkat layanan untuk masing-masing subsektor: air limbah, persampahan, dan drainase, harus jelas dan disepakati bersama. Misalnya untuk persampahan, apakah parameter yang akan dipakai adalah jumlah timbulan sampah yang bisa diangkut? Atau parameternya adalah seberapa luas kawasan yang bisa dilayani pengangkutan sampahnya?, atau bagaimana kaidah 3R dijalankan?, dan sebagainya.

‘Kesepakatan’ tingkat layanan saat ini relatif masih jarang dilakukan. Tetapi menjadi penting apabila kota (Pokja Sanitasi Kota) berkeinginan untuk lebih baik lagi mengelola harapan pelanggan (dalam hal ini masyarakat umum). Demikian pula bila Pemerintah Kota ingin melibatkan pihak swasta dalam layanan sanitasi. Oleh karenanya, tingkat layanan perlu ditetapkan secara kuantitatif agar kinerjanya dapat diukur.

Kesepakatan tentang tingkat layanan memiliki beberapa makna, yakni:

  • Alat komunikasi. Nilai sebuah kesepakatan tidak terletak hanya dalam produk akhir, tetapi lebih pada proses untuk menyiapkan kesepakatan tersebut, yang membantu membuka komunikasi.
  • Alat pencegah konflik. Sebuah kesepakatan membantu menghindarkan terjadinya perselisihan, dengan menyiapkan pemahaman bersama akan kebutuhan dan prioritas. Seandainya pun terjadi konflik, maka akan lebih mudah untuk dipecahkan.
  • Dokumen hidup. Hal ini merupakan salah satu manfaat yang penting. Kesepakatan tersebut bukan merupakan harga mati. Tetapi perlu dikaji dalam waktu yang disepakati, untuk menyepakati dan memperbaiki kesepakatan sebelumnya.
  • Sebuah alat ukur objektif untuk melihat efektivitas layanan. Adanya kesepakatan memastikan kedua pihak menggunakan tolok ukur yang sama untuk menilai kualitas layanan.

Pada dasarnya, Pemerintah Kota sudah terbiasa menyiapkan tingkat layanan. Hanya saja, tingkat layanan tersebut jarang dikomunikasikan dan disepakati bersama dengan struktur pemerintahan di bawahnya (kelurahan). Kalaupun ada, sifatnya cenderung satu arah dalam bentuk ‘penyuluhan’, sehingga sukar terbangun kesepakatan konstruktif antara kedua belah pihak (Pemerintah Kota dan kelurahan).

Selanjutnya dilakukan konsultasi dengan kelurahan. Hasil dari proses konsultasi ini adalah semacam ‘kesepakatan tingkat layanan’ antara Pemerintah Kota, yang diwakili oleh masing-masing SKPD yang tergabung dalam Pokja Sanitasi Kota, dengan pihak kelurahan.

Proses penetapan tingkat layanan sanitasi ini dapat dilihat pada diagram berikut ini (klik gambar untuk memperbesar):


Sumber: Manual TTPS


Penetapan Sistem dan Zona Sanitasi

Sistem sanitasi yang akan digunakan menjelaskan ‘apa’, sedangkan zona sanitasi menjelaskan ‘di mana’ sistem tersebut akan diterapkan. Sistem sanitasi ditentukan berdasarkan kerangka waktu perencanaan jangka panjang.

Subsektor air limbah secara garis besar mengenal dua jenis sistem, yakni sistem setempat (on-site system) dan sistem terpusat (off-site system). Untuk subsektor persampahan dikenal tiga jenis sistem, yakni sistem pengangkutan tidak langsung (melalui tempat penampungan sementara/TPS), sistem pengangkutan langsung, dan sistem penanganan sampah di sumbernya. Sementara untuk subsektor drainase lingkungan dikenal dua jenis sistem, yaitu sistem gravitasi dan sistem pompa.

Pertanyaan tentang ‘di mana’ sistem sanitasi tersebut akan diterapkan, mengarah pada pentingnya penetapan zona sanitasi. Beberapa indikator untuk menetapkan zona air limbah di antaranya sebagai berikut:

  • Kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk tersebut adalah proyeksi kepadatan penduduk jangka panjang (4-5 tahun) dan kepadatan penduduk saat ini. Pokja harus menyepakati sumber data yang dipakai sebagai acuan, misalnya proyeksi jumlah/kepadatan penduduk yang tertuang dalam RDTRK/RTRW.
  • Pembagian kawasan urban–peri urban - rural sebagaimana sudah ditetapkan dalam Buku Putih
  • Karakteristik fisik (topografi, area tipikal, batas/hambatan alam)
  • Jenis kawasan atau fasilitas yang dilayani (perumahan, komersial, lainnya)
  • Informasi yang sudah tersedia (misalnya sudah ada Master Plan walaupun mungkin Master Plan tersebut perlu dikaji ulang dan dijadikan rujukan)

Indikator untuk menentukan zona persampahan di antaranya sebagai berikut:

  • Kepadatan penduduk
  • Pembagian kawasan urban – peri urban - rural sebagaimana sudah ditetapkan dalam Buku Putih
  • Sistem yang diterapkan saat ini
  • Jenis kawasan atau fasilitas yang dilayani (perumahan, komersial, lainnya)
  • Infrastruktur jalan dan kondisi lalu lintas
  • Pertimbangan efisiensi dari sisi manajemen dan operasi persampahan

Sedangkan indikator untuk zona drainase lingkungan digunakan sub-Daerah Aliran Sungai (sub-DAS).

Segera setelah ditetapkan sistem dan zona sanitasi, selanjutnya perlu dilakukan proses konsultasi dengan kelurahan dan/ masyarakat dengan tujuan:

  • Memberikan informasi tentang sistem yang akan diterapkan dalam zona sanitasi tertentu. Jadi, kontribusi dan inisiatif masyarakat termasuk pihak swasta lokal di dalam zona sanitasi tersebut, sesuai dengan sistem yang sudah ditetapkan.
  • Mendapatkan masukan dari masyarakat, terutama yang terkait dengan cara/model implementasi sistem yang ditetapkan

Hasil yang akan dicapai melalui proses ini adalah:

  • Ditetapkannya sistem sanitasi untuk jangka panjang,
  • Ditetapkannya zona sanitasi untuk 3 subsektor sanitasi.

Proses penyusunan sistem dan zona sanitasi ini dapat dilihat pada gambar berikut ini (klik gambar untuk memperbesar):

Penetapan Tujuan dan Sasaran Sanitasi Kota

Tujuan dan sasaran dirumuskan dari Misi Sanitasi kota yang sudah disetujui oleh Pokja–Tim Pengarah. Tujuan dan sasaran harus mampu memberi arahan serta koridor untuk penetapan sistem dan zona sanitasi, termasuk tingkat layanan sanitasi.

Sebelum menetapkan tujuan dan sasaran, Pokja harus melihat kembali kerangka sasaran umum sanitasi di tingkat nasional dan provinsi. Sejauh ini, Kementerian Pekerjaan Umum telah menerbitkan beberapa petunjuk untuk digunakan sebagai rujukan dalam menyusun rencana strategis sanitasi perkotaan, diantaranya:

  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no. 21/PRT/M/2006 tentang ‘Kebijakan dan Strategi Nasional – Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan’
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no. 16/PRT/M/2008 tentang ‘Kebijakan dan Strategi Nasional – Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman’

Menurut beberapa rujukan, ada 3 model yang dapat digunakan untuk peningkatan kondisi sanitasi di perkotaan. Tiga model itu yaitu:

  • perencanaan terpusat (central planning);
  • permintaan pasar (market forces); dan
  • aksi kolektif setempat (local collective action).

Pemerintah Kabupaten/Kota perlu memanfaatkan ke 3 model tersebut dalam kombinasi skenario yang menghasilkan resultan optimum.

Umumnya Pemerintah Kabupaten/Kota terbiasa dengan model perencanaan terpusat, yang dicirikan dengan keluaran berupa master plan atau sejenisnya yang cenderung kaku. Dalam kenyataannya, perencanaan butuh keluwesan agar mampu menjawab perubahan kondisi dinamis di tingkat kota atau Provinsi dan Pusat. Seiring berjalannya waktu, dengan bertambahnya informasi yang tersedia, maka rencana strategis yang disusun bisa pula disesuaikan.

Semenjak satu dekade lalu, Pemerintah Kabupaten/Kota memberi perhatian besar pada kegiatan berbasis masyarakat dan memberikan warna tersendiri terhadap model pembangunan, terutama di perdesaan. Situasinya berbeda untuk kawasan perkotaan. Sebab model perencanaan terpusat tetap diperlukan, agar sistem yang diterapkan di bagian-bagian kota saling terintegrasi dan efisien, selain memberikan ruang bagi pembangunan berbasis masyarakat. Konsultasi dengan kelurahan adalah salah satu cara menjaring aspirasi masyarakat, serta mendorong timbulnya pembangunan berbasis masyarakat, dalam koridor sistem teknologi yang sudah ditetapkan. Selama ini, kegiatan berbasis masyarakat sudah banyak ditemukan, tetapi yang perlu diperiksa lebih lanjut apakah kegiatan tersebut sesuai dengan rencana kota keseluruhan. Strategi Sanitasi Kota ini perlu memberikan ruang bagi kegiatan sanitasi berbasis masyarakat , dalam suatu koridor yang dipahami dan disepakati bersama.

Selama ini, model yang didasarkan pada permintaan pasar masih kurang mendapatkan perhatian. Kegiatan yang ada sifatnya masih sporadis, belum dioptimalkan dan disinergikan agar memberikan hasil yang optimum. Semua ini merupakan tantangan bagi Pokja Sanitasi Kota untuk mengembangkan model ini.

Karena itu, pernyataan tujuan dan sasaran seyogianya disusun dengan memerhatikan kaidah SMART (specific, measurable, attainable, realistic dan time-bound), yakni:

  • khas,
  • dapat diukur,
  • bisa diwujudkan,
  • realistik, dan
  • terikat pada kurun waktu.


Sumber: Manual TTPS