BB-01: Rapat Konsultasi-1 (Antara Tim Teknis dengan Tim Pengarah).
Penilaian Pemetaan Cepat Sanitasi Kota disiapkan oleh Pokja Sanitasi Kota dari unsur Tim Teknis, yang mewakili SKPD masing-masing dan kemungkinan juga anggota lain dari luar SKPD. Setiap staf SKPD dipastikan membuat laporan berkala kepada masing-masing Kepala SKPD, yang juga merupakan anggota Tim Pengarah.
Diskusi pada bagian ini merupakan pertemuan formal untuk melaporkan hasil kerja Tim Teknis kepada Tim Pengarah, sekaligus agar Tim Pengarah memberikan dukungan dan keputusan yang bersifat kolektif. Ini penting, agar pelaksanaan program sanitasi yang akan disiapkan secara terintegrasi oleh Tim Teknis bisa berjalan lancar, berkat adanya dukungan dan komitmen dari para Kepala SKPD.
BB-02: Rapat Konsultasi-2 (Antara Tim Teknis dengan Camat dan Lurah).
Lazim ditemui, bahwa bantuan Pemerintah Kota ke kelurahan cenderung dibagi secara merata ke seluruh kelurahan. Tetapi karena keterbatasan dana Pemerintah Kota, seringkali bantuan tersebut tidak mencapai hasil seperti yang diharapkan.
Berdasarkan pendapat bahwa dana yang terbatas akan lebih bermanfaat bila dikonsentrasikan lebih dulu untuk perbaikan sanitasi pada satu atau beberapa kelurahan berisiko tinggi (sehingga mencapai hasil seperti yang diharapkan), maka pendapat ini perlu disampaikan dan disetujui oleh Lurah. Draf area berisiko tersebut perlu disampaikan dan didiskusikan secara bersama dengan seluruh Lurah dari satu kecamatan. Dalam pertemuan dengan Camat dan para Lurah, diskusi tentang draf area (kelurahan) berisiko ditujukan agar para Lurah:
- Menyepakati manfaat adanya identifikasi area berisiko, yang pada gilirannya diharapkan akan menimbulkan kesepakatan agar memberikan prioritas kepada kelurahan berisiko tinggi. Sebagai akibatnya, tidak semua kelurahan akan mendapatkan bantuan serempak, karena dana yang terbatas akan dialokasikan untuk area berisiko tinggi lebih dulu.
- Mengarahkan, memberikan perhatian, dan prioritas terhadap usulan yang terkait dengan perbaikan sanitasi melalui mekanisme Musrenbang. Dalam hal ini, para Lurah menjadi pemain penting dalam meningkatkan pemahaman dan kebutuhan sanitasi di kelurahannya. Tentunya dengan bantuan unsur lain yang sudah ada di kelurahan tersebut (misalnya PKK dan kader Posyandu).
Pada waktu draf area berisiko dipresentasikan di depan para Lurah, biasanya muncul reaksi dari beberapa Lurah, yaitu:
- Untuk Kelurahan yang diklasifikasikan sebagai (draf) area berisiko. Reaksi yang kadang muncul adalah penolakan terhadap hasil draf area berisiko, dengan alasan sejauh ini di kelurahan tersebut belum pernah terjadi kasus penyakit terkait masalah sanitasi. Hal ini terkait dengan harga diri dan persepsi kinerja dari Lurah atau kelurahan tersebut.
- Atau sebaliknya, Lurah menganggap bahwa seharusnya kelurahannya termasuk area berisiko.
Adanya reaksi semacam itu sebenarnya membuka peluang untuk melakukan diskusi lebih dalam lagi. Dua topik yang dapat dibahas lebih lanjut adalah:
- Apapun alasan yang disampaikan, perlu ditegaskan bahwa semua argumen harus didukung oleh data (evidence based), bukan penilaian yang cenderung bersifat subjektif dari individu tertentu. Kesempatan ini dapat digunakan untuk meminta data yang lebih lengkap dari Lurah mengenai kondisi sanitasi di kelurahannya.
- Perbedaan antara ‘risiko’ dengan ‘dampak’. Perbaikan sanitasi merupakan usaha untuk mengurangi risiko (usaha pencegahan), sedangkan adanya kasus kejadian penyakit merupakan dampak.
Selanjutnya terkait dengan ‘evidence based’, dalam kesempatan ini disampaikan rencana untuk melakukan studi lebih mendalam melalui studi Environmental Health Risk Assessment (EHRA) – yang umumnya dilaksanakan di setiap kelurahan. Para Lurah diminta kerja samanya pada tahap pelaksanaan studi ini, terutama karena untuk studi EHRA, petugas pengumpul data (enumerator) biasanya adalah kader Posyandu dari setiap kelurahan.
BB-03: Pengumpulan dan Analisa Data EHRA
Environmental Health Risk Assessment (EHRA) adalah:
- Survei yang bersifat partisipatif di tingkat kota;
- Ditujukan untuk memahami fasilitas sanitasi dan higiene saat ini dan hubungannya dengan kebiasaan masyarakat;
- Dapat digunakan untuk pengembangan dan advokasi program di tingkat kota sampai kelurahan.
Alasan perlunya studi EHRA adalah:
- Minimnya data yang terkait sanitasi dan higiene di tingkat kelurahan;
- Isu sanitasi dan higiene masih dipandang kurang penting sebagaimana terlihat dalam prioritas usulan melalui Musrenbang;
- Masyarakat tidak mempunyai cukup ‘amunisi’ untuk melakukan advokasi di bidang sanitasi dan higiene;
- Terbatasnya kesempatan untuk dialog antara masyarakat dan pihak pengambil keputusan.
Studi EHRA dirancang sedemikian rupa agar Pemerintah Kota dapat melakukan pengulangan studi EHRA dalam kurun waktu tertentu, misalnya setiap 3 tahun. Biayanya pun seminimum mungkin tanpa harus mengorbankan kualitas informasi yang diperoleh. Pengulangan studi EHRA beberapa tahun kemudian dapat merupakan bagian dari kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev).
Studi EHRA memanfaatkan sumber daya setempat untuk pengumpulan data. Petugas pengumpul data (enumerator) umumnya menggunakan tenaga kader Posyandu, yang jelas punya banyak keunggulan dibandingkan menggunakan tenaga lain. Berdasarkan luasnya kelurahan, maka pelaksanaan EHRA di beberapa kota sebelumnya menunjukkan banyaknya manfaat yang diperoleh dengan melibatkan kader Posyandu sebagai enumerator, di antaranya:
- Kader Posyandu adalah masyarakat setempat, mungkin tetangga sebelah rumah, dan sebagian besar kaum ibu. Karena masalah sanitasi (WC, kamar mandi, kebiasaan sehari-hari) untuk sebagian besar masyarakat Indonesia terkait dengan ‘rasa malu’ dan ‘harga diri’, bila pertanyaan diajukan oleh kader Posyandu maka jawaban yang diberikan akan lebih jujur dibandingkan bila jawaban diberikan kepada ‘orang asing’ (enumerator yang bukan dari kader Posyandu atau dari masyarakat luar kelurahan).
- Selain mengajukan pertanyaan, enumerator harus melihat langsung (dan menilai) kondisi fasilitas sanitasi yang dimiliki rumah tersebut. Artinya, enumerator harus masuk ke dalam (bagian belakang) rumah dan melihat bagian rumah yang paling jarang diperlihatkan kepada orang asing. Berdasarkan pengalaman, untuk enumerator yang bukan dari kader Posyandu ditemukan beberapa penolakan dari responden, sedangkan enumerator dari kader Posyandu tidak ditemukan penolakan. Untuk itu, di beberapa kota dilibatkan kader Sub-Klinik Desa (SKD).
- Setelah studi EHRA, kader Posyandu dapat terus menanyakan atau memantau kondisi fasilitas sanitasi di rumah yang pernah dikunjungi setiap kali kader tersebut bertemu dengan pemilik rumah pada kesempatan lainnya (misalnya saat arisan RT, atau acara lainnya). Dengan demikian, terbentuk mekanisme ‘social control’ dari masyarakat setempat (dalam hal ini dari kader Posyandu).
BB-04: Penilaian pemetaan kondisi sanitasi di kelurahan
Di bagian ini dilakukan:
- Analisa studi EHRA
- Penilaian kondisi sanitasi berdasarkan studi EHRA dan data lain (primer/sekunder) yang sudah diperoleh sebelumnya.
Analisa studi EHRA menghasilkan informasi spesifik untuk tiap kelurahan terkait, dengan ketersediaan infrastruktur sanitasi dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Penilaian situasi sanitasi berdasarkan studi EHRA dan data primer/sekunder dilakukan dengan membandingkan kedua informasi tersebut. Kemudian disepakati nilai yang akan digunakan, apakah berdasarkan angka rata-rata atau nilai tertinggi. Informasi dapat ditambah dengan persepsi dari anggota Pokja Sanitasi Kota yang mewakili SKPD, dengan memberikan nilai tersendiri terhadap situasi sanitasi untuk tiap kelurahan. Penilaian ini didasarkan pada pendapat bahwa staf SKPD cukup mengetahui masalah di lapangan, sehingga masukan dari SKPD merupakan sebuah ‘professional judgment’. Nilai ini juga dibandingkan terhadap nilai dari dua informasi sebelumnya (data sekunder/primer dan EHRA).
BB-05: Penetapan: Area Berisiko dan Penyebab Utama Permasalahan Sanitasi
Apabila hasil-hasil di atas sudah dibandingkan, maka langkah selanjutnya adalah:
- Menetapkan area berisiko berdasarkan studi EHRA, data primer/sekunder sebelumnya dan persepsi SKPD.
- Kesepakatan penyebab mendasar masalah sanitasi
Khusus untuk butir a) di atas, penetapan area berisiko dapat dilakukan berdasarkan 2 indikator tersebut. Tetapi dapat pula ditambahkan dengan pendapat dari SKPD yang tergabung dalam Pokja Sanitasi Kota.
Proses di atas adalah proses ‘zoom-out’, melihat kota dari jauh sebagai satu kesatuan wilayah.
Hasil yang diperoleh dari proses di atas barulah bersifat ‘identifikasi’, belum sepenuhnya dapat disebut sebagai ‘area prioritas.’ Sebab ada beberapa hal lain yang perlu mendapatkan pertimbangan sebelum ditetapkan sebagai area prioritas.
Dibutuhkan kunjungan lapangan dengan maksud:
- Memeriksa kesesuaian antara hasil analisis dengan situasi sebenarnya di lapangan
- Mencari penyebab mendasar permasalahan sanitasi di kelurahan tersebut, yang disebut proses ‘zoom-in’ , sebab kelurahan dilihat sebagai suatu unit wilayah pembangunan tersendiri. Lihat gambar di bawah (sumber: Bergerak Bersama dengan Strategi Sanitasi Kota – TTPS).
- Memeriksa aspek lain di lapangan. Misalnya aspek legal kepemilikan lahan (contohnya: bila warga di area yang ditinjau di kelurahan tersebut menempati lahan ilegal, maka intervensi yang dilakukan Pemerintah Kota dapat menimbulkan interpretasi bahwa menempati lahan tersebut menjadi ‘legal’).
Hasil kunjungan lapangan didiskusikan kembali dan Pokja Sanitasi Kota selanjutnya menetapkan area berisiko, yang membagi kelurahan-kelurahan ke dalam 4 kategori risiko dari sisi sanitasi.
BB-06: Penyusunan Draf Buku Putih Sanitasi
Seluruh hasil yang diperoleh melalui proses di atas selanjutnya disusun menjadi Draf Buku Putih Sanitasi Kota.
BC-01: Rapat Konsultasi-3
Rapat ini dilakukan untuk melaporkan dan meminta umpan balik dari pemangku kepentingan di tingkat kota terhadap Draf Buku Putih.
BC-02: Finalisasi Buku Putih Sanitasi Kota
Masukan yang diperoleh dalam Rapat Konsultasi-3 selanjutnya dirangkum dan disusun menjadi Buku Putih Sanitasi Kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar